Bimbang
Dini merasa terpojok mendapat hujaman tatapan dari puluhan orang. Ia mengangkat bahu sambil menggeleng-gelengkan kepala sebagai ungkapan dirinya pun bingung dan tidak tahu menahu soal hilangnya kepala Topo. Namun sikap Dini justru kian menebalkan keyakinan sebagian temannya. Minimal Dini mengetahui siapa yang telah memenggal kepala Topo.
“Din, kita tidak menuduh. Tetapi selama ini kita semua tahu kamu punya hubungan khusus dengan Hugo. Jadi wajar kalau kemudian ada dugaan kamu ingin membebaskan Hugo dari sekapan makhluk gaib itu dengan cara menyerahkan 7 kepala orang,” kata Faizil.
“Aku…aku tidak tahu soal ini. Sungguh!”
“Tapi kamu yang paling dekat dengan kemungkinan adanya keinginan untuk membebaskan Hugo. Kamu punya alasan yang kuat, Din!”
“Tapi…tapi,” Dini tidak melanjutkan kalimatnya. Dadanya terasa sesak.
“Jujur saja, aku tidak mau kepalaku nanti kamu penggal untuk menebus Hugo,” Yanto mulai menyerang dengan kalimat tajam.
“Aku juga tidak mau,” timpal Ria danTyas hampir bersamaan.
“Ihh…apalagi saya. Amit-amit!” seru Wanda.
“Tidak!” jerit Dini. Perlahan air matanya mulai menetes. “Tolong, aku tidak tahu apa-apa! Lagi pula Hugo bukan pacarku lagi!”
Semua terdiam.
“Mengapa kalian bisa dengan gampang menjatuhkan vonis aku pelakunya!" seru Dini di sela derai air mata. "Pernah kalian berpikir bahwa seseorang yang melakukan ini memang sudah tahu jika aku yang akan kalian tuduh karena hubunganku di masa lalu?”
“Maksudmu?” tanya Wiro.
“Dia melakukan ini karena tahu tidak akan dituduh!”
“Kamu malah melebarkan permasalahan,” potong Ambar. “Bukankah pelakuknya belum tentu di antara kita?”
Semua tersentak mendengar omongan Ambar. Benar juga, bisa saja pelakunya orang lain. “Mengapa kita tidak mencari pembunuh Topo? Mengapa kita hanya meributkan kepalanya?”
“Dengan ditemukannya kepala Topo, otomatis akan terungkap siapa yang telah membunuhnya,” ujar Wiro.
“Kalau begitu kita lihat motifnya,” kata Seno. Suaranya tetap tenang di tengah kekalutan teman-temannya.
“Bagaimana caranya kita tahu motifnya sementara kita belum tahu pelakunya?” tanya Wiro.
“Kita kembali ke pohon besar itu. Jika kepala Topo ada di sana, berarti pelakunya punya motif untuk membebaskan Hugo, dan mungkin Jumadi…”
“Kok mungkin Jumadi?” potong Ria.
“Kita belum tahu persis bagaimana kondisi Jumadi. Bisa jadi Jumadi masih hidup, dan hanya ditawan oleh makhluk gaib sebagaimana Hugo…”
“Terus kepala yang kita lihat tertancap di batang pohon itu?” potong Ambar.
“Mungkin halusinasi kita saja. Atau mungkin tipuan. Ingat, kita berhadapan dengan makhluk gaib. Kita tidak bisa menggunakan logika, menggunakan akal sehat kita. Makhluk gaib bisa melakukan apa saja yang kadang tidak masuk akal manusia.”
Sejenak penjelasan Seno dapat diterima sebagian peserta kemah.
“Kalau ternyata kepala Topo tidak ada di sana?” tanya Ambar setelah tidak ada tanda-tanda Seno akan melanjutkan penjelasannya.
“Mungkin pelakunya orang luar, atau bahkan mungkin makhluk penghuni pohon itu yang melakukannya sendiri karena di antara kita tidak ada yang mau menuruti permintaan 7 kepala sebagai syarat pembebasan Hugo,” tegas Seno.
Dini sedikit trehibur mendengar argumen Seno. Meski tidak membela, namun mengurangi tekanan teman-temannya.
“Kalau begitu sekarang kita lihat ke pohon itu,” ujar Faizil.
Meski semua setuju namun mereka belum bergerak karena masih menunggu keputusan Wiro.
“Apa tidak sebaiknya tidak lapor ke polisi saja?” tanya Yanto setelah melihat kebimbangan Wiro.
“Aku sedang berpikir ke arah itu. Tetapi siapa yang akan percaya jika Hugo, dan mungkin juga Jumadi, dibawa makhluk gaib?”
“Kalau begitu kita buktikan dulu saja!”
Wiro mengangguk. “Baiklah, mari kita cari kepala Topo di pohon itu.”
“Kalau semua pergi, siapa yang menunggu jasad Topo?” kata Ambar.
Serentak mata mereka menoleh ke depan tenda di mana jasad Topo terbujur kaku ditutupi kain sarung. Karena sarung itu kurang panjang, bagian kakinya masih terlihat.
“Takutnya nanti jasad Topo hilang,” sambung Ambar seolah mengingatkan pada kepala Jumadi yang sempat mereka lihat namun karena tidak segera diambil, kemudian hilang dan kini berada dalam cengkeraman makhluk penghuni pohon.
“Kalau begitu Faizil, Seno ditemani beberapa teman lainnya yang pergi ke pohon besar. Sisanya tinggal di sini, menunggui jasad Topo,” kata Wiro.
Faizil dan Seno serempak mengangguk. Bersama lima orang lainnya, mereka segera pergi ke pohon besar. Masing-masing membawa senjata seadanya. Tidak berapa lama kemudian mereka sudah kembali. Wajahnya pucat pasi. “Iya benar, kepala Topo ada di bawah pohon itu!” lapor Seno.
Mata Wiro terbelalak. Demikian yang lainnya. “Apa? Kepala Topo ada di bawah pohon besar itu?” seru Wiro seolah tak percaya dengan pendengarannya sendiri. Ketegangan begitu dominan menyelimuti wajah-wajah mereka.
“Benar, saya lihat kepala Topo ada di sana. Masih mengeluarkan darah,” jelas Seno melengkapi laporannya.
“Sudah jelas, pelakunya salah satu dari kita!” serang Ria.
Dini menggigit bibir karena tahu akan kembali menjadi tertuduh.
“Kalau begitu, kita harus segera lapor polisi,” usul Yanto.
“Jangan dulu. Justru karena kita yakin pelakunya salah satu dari kita, jangan ambil tindakkan gegabah. Jika tidak ada yang mau mengaku, semua akan menjadi tersangka!” ujar Faizil.
“Sebenarnya masih ada satu orang lagi yang perlu kita curigai juga,” kata Wiro.
“Betul, Pak Sastro- penjaga hutan ini, menjadi orang pertama di luar kita yang harus kita selidiki,” dukung Seno seolah bisa membaca pikiran Wiro.
“Sejak awal, Pak Sastro sudah menunjukkan sikap bermusuhan. Dia seperti tidak suka dengan kedatangan kita,” timpal Ria. Ketakutan belum hilang dari wajahnya.
“Terus bagaimana caranya kita menyelidiki Pak Sastro?” tanya Rini. “Apa langsung kita tanyai saja?”
“Kalau cuma ditanya, mana mungkin mau mengaku,” cetus Ria.
“Sudah, serahkan ke polisi saja,” kata Yanto, ngotot.
“Iya, biar cepat selesai,” tambah Tyas.
“Bukannya aku tidak setuju,” kata Wiro. “Tetapi kita harus memperhitungkan kemungkinan akan menjadi bahan tertawaan orang-orang di luar sana. Apalagi jika sampai terbukti ini hanya permainan belaka.”
“Permainan? Maksudmu?” tanya Dini. Mendadak ia merasa terbebas dari tuduhan sebagai pembunuh Topo.
“Ya, aku sendiri tidak percaya dengan makhluk gaib!.”
“Tapi kita sudah melihatnya sendiri semalam,” seru Ria.
“Benar, tetapi jangan-jangan ini halusinasi kita saja. Maksudku, terbunuhnya Jumadi, Hugo dan Topo tidak benar-benar nyata. Coba pikirkan, bagaimana mungkin ada makhluk halus bisa memotong kepala manusia dan juga menawan Hugo. Terus mereka minta tebusan kepala. Aneh...” keluh Wiro.
Semua terdiam. Angin berhembus menerbangkan anyir dara. Dini yang semula terpojok, kini semakin lega. Dalam hati ia mengucapkan terima kasih pada Wiro karena secara tidak langsung telah membebaskan dirinya dari kecurigaan teman-temannya.
“Kita semua yang ada di sini terpelajar. Malu kalau sampai orang luar tahu, kita percaya pada hal-hal gaib,” lanjut Wiro. “Lagi pula, tujuan kita ke sini untuk reuni seklaigus membuktikan mitos tentang pembantaian anak-anak SMP karena aku yakin mereka tidak dibunuh oleh makhluk gaib, melainkan manusia sesat yang tengah melakukan ritual gaib atau mungkin juga binatang buas. Jika sekarang kita melapor teman-teman kita menjadi korban makhluk gaib, apa tidak akan jadi bahan tertawan?”